Minggu, 09 November 2008

Pelaksanaan Putusan PTUN dan Otonomi Daerah Sebagai Wujud Supremasi Hukum

Selama empat belas tahun eksistensi PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) di Indonesia, dirasakan masih belum memenuhi harapan masyarakat pencari keadilan. Banyaknya putusan PTUN

yang tidak dapat dieksekusi telah menimbulkan pesimisme dan apatisme dalam masyarakat. Masalahnya adalah tidak adanya kekuatan eksekutorial dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Kondisi ini merupakan suatu fakta yang memprihatinkan bahwa keberadaan PTUN belum dapat membawa keadilan bagi masyarakat dalam lingkup administratif pemerintahan. Prinsip adanya peradilan TUN, untuk menempatkan kontrol yudisial dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik menjadi bias dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Bila suatu putusan PTUN tidak memiliki kekuatan eksekutorial, bagaimana mungkin hukum dan masyarakat dapat mengawasi jalannya pemerintah yang dilaksanakan oleh pejabat-pejabat TUN.

Permasalahan eksekusi putusan PTUN ini juga dapat timbul terkait dengan diberlakukannya otonomi daerah, karena dengan adanya otonomi daerah seluruh pejabat kepala daerah di tingkat II memiliki kewenangan yang luas dalam mengelola daerahnya dan hal tersebut pasti menggunakan metode keputusan-keputusan administratif.

Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) tentunya tindakan dari pemerintah tersebut harus berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Dibutuhkan suatu pengujian yuridis terhadap tindakan pemerintah dan pengujian yang dilakukan terhadap tindakan pemerintah itu harus dapat menghasilkan perlindungan bagi kepentingan rakyat. Apabila tindakan tersebut bertentangan dengan kepentingan rakyat, maka kepentingan rakyat tidak semena-mena dapat dikorbankan begitu saja. Demikian juga semangat prinsip dari PTUN tersebut harus diterapkan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Dengan kewenangan yang besar dan luas menimbulkan potensi penyelewenangan seperti “abuse of power” dan “excessive power” sehingga dibutuhkan pengawasan yang serius dalam hal ini.

Salah satu yang menyebabkan lemahnya pelaksanaan putusan PTUN adalah karena tidak terdapatnya lembaga eksekutorial dan kekuatan memaksa dalam pelaksanaan putusan PTUN sehingga pelaksanaan putusan PTUN tergantung dari kesadaran dan inisiatif dari pejabat TUN. Dengan penegoran sistem hirarki seperti diatur dalam UU No. 5 tahun 1996 terbukti tidak efektif dalam pelaksaan putusan PTUN.

Baru-baru ini pemerintah telah sadar akan tumpulnya pelaksanaan putusan PTUN yang hanya menyandarkan pada kesadaran yang dirasa kurang efektif sehingga pemerintah mengundangkan UU No. 9 tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Adapun perubahan yang mendasar dalam UU No. 9 tahun 2004 terletak pada Pasal 116 ayat (4) dan ayat (5) yaitu adanya penjatuhan uang paksa bagi pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap berupa pembayaran uang paksa (dwangsom) dan/atau sanksi administratif serta publikasi di media cetak. Pemberlakuan uang paksa merupakan salah satu tekanan agar orang atau pihak yang dihukum mematuhi dan melaksanakam hukuman. Namun, dalam penerapannya pemberlakuan uang paksa (dwangsom) masih menimbulkan permasalahan antara lain jenis putusan apa yang dapat dikenakan uang paksa (dwangsom), siapa yang akan dibebankan uang paksa (dwangsom), dan sejak kapan uang paksa (dwangsom) diberlakukan.

Bahwa penerapan dwangsom tidak dapat dapat diterapkan pada semua putusan PTUN. Penerapan dwangsom hanya dapat dibebankan pada putusan PTUN yang bersifat penghukuman (putusan condemnatoir). Pejabat TUN yang sedang menjalankan tugasnya dalam kedinasan dan kemudian menimbulkan suatu kerugian bagi masyarakat, namun tugas tersebut dilaksanakan sesuai dengan hukum maka kerugian yang dialami masyarakat haruslah dibebankan kepada negara. Karena merupakan kesalahan teknis dalam menjalankan dinas.

Lain halnya jika pada saat pejabat TUN tidak patuh untuk melaksanakan putusan PTUN maka pada saat tersebut pejabat TUN tidak sedang melaksanakan peran negara. Apabila terjadi hal demikian maka pertanggung jawabannya dibebankan secara pribadi kepada pejabat TUN yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan teori kesalahan yang dikembangkan dari Yurisprudensi Counsil d’Etat yang membedakan kesalahan dinas (Faute de serve) dan kesalahan pribadi (Faute de personelle).

Dalam pelaksanaan penerapan uang paksa. mekanisme pembayaran uang paksa juga perlu diperhatikan, karena yang dihukum untuk melaksanakan putusan PTUN adalah pejabat TUN yang masih aktif yang masih mendapatkan gaji secara rutin. Maka akan lebih efektif jika pengenaan dwangsom diambil dari gaji bulanan pejabat TUN yang bersangkutan. Dan perintah pemotongan gaji dalam amar putusan hakim diperintahkan kepada Kepala Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN). Namun untuk melaksanakan pembayaran uang paksa yang dikenakan kepada pejabat TUN yang bersangkutan masih menimbulkan kendala. Kendala yang pertama adalah apabila dalam pelaksanaan eksekusi ternyata pejabat TUN yang bersangkutan dipindah tugaskan ke tempat wilayah kerja KPKN yang berbeda. Upaya yang dapat dilakukan untuk menghadapi kendala pertama adalah dengan adanya koordinasi antara PTUN yang satu dengan PTUN yang lain, dan antara PTUN dengan Pengadilan Negeri jika ternyata pejabat TUN bersangkutan pindah ditempat yang tidak ada PTUN. Kendala selanjutnya adalah apabila gaji pejabat yang bersangkutan tidak mencukupi untuk membayar uang paksa. Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk menghadapi hal ini adalah dengan cara pejabat bersangkutan dapat mengangsur setiap bulan dengan mempertimbangkan sisa gaji yang layak untuk biaya hidup.

Lalu satu lagi sanksi yang dapat dikenakan pada pejabat TUN yang membandel adalah sanksi administratif. Sanksi administratif yang dapat diberikan berdasarkan PP No. 30 tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri adalah hukuman disiplin berupa penurunan pangkat, pembebasan dari Jabatan, pemberhentian dengan hormat, dan pemberhentian tidak dengan hormat. Sanksi administratif berupa pembebasan dari jabatan adalah paling tepat karena pada saat ia tidak mematuhi putusan PTUN maka pada saat itu ia tidak mau menggunakan kewenangan jabatannya. Perintah penjatuhan sanksi administratif ditujukan kepada pejabat yang berwenang untuk menghukum pejabat TUN tersebut. Namun, dalam hal apabila pejabat TUN adalah gubernur dan bupati karena sesuai dengan UU Otonomi Daerah secara hirarki ia tidak mempunyai atasan sebagai pejabat yang berwenang untuk menghukum, maka dalam hal ini tentunya hakim dapat memilih pengenaan uang paksa (dwangsom).

Langkah yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk merevisi Pasal 116 UU No. 9 tahun 2004 merupakan salah satu kemajuan dari perkembangan kepastian hukum. Namun ketentuan Pasal 116 UU No. 9 tahun 2004 tersebut masih belum efektif dilaksanakan. Untuk melaksanakan Pasal 116 UU No. 9 tahun 2004 tersebut diperlukan adanya petunjuk pelaksanaan dan petujnjuk teknis. Diharapkan dengan adanya revisi tersebut pelaksanaan otonomi daerah dapat terkontrol dengan seimbang dan adil sehingga membawa kemakmuran bagi masyarakat.

Pada hakekatnya supremasi hukum hanya dapat tercapai kalau putusan pengadilan c.q. putusan PTUN dapat dieksekusi sehingga menimbulkan efek jera kepada para pejabat yang menyalahgunakan wewenang.

Oleh: Frans Hendra Winarta



Read More......

Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi

Pendahuluan.
1. Salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi ialah adanya kerugian keuangan Negara. Terhadap kerugian keuangan negara ini membuat UU korupsi

baik yang lama yaitu UUD no.3 tahun 1971 maupun yang baru yaitu UU no.31 tahun 1999 jo UU no.20 tahun 2001, menetapkan kebijakan bahwa kerugian keuangan negara itu harus dikembalikan atau diganti oleh pelaku korupsi.
2. Menurut UU korupsi tersebut, pengembalian kerugian keuangan negara dapat dilakukan melalui dua instrumen hukum, yaitu instrumen pidana dan instrumen perdata. Instrumen pidana dilakukan oleh penyidik dengan menyita harta benda milik pelaku dan selanjutnya oleh penuntut umum dituntut agar dirampas oleh Hakim. Instrument perdata dilakukan oleh Jaksa Pengacara Negara (JPN) atau instansi yang dirugikan terhadap pelaku korupsi (tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya bila terpidana meninggal dunia). Instrumen pidana lebih lazim dilakukan karena proses hukumnya lebih sederhana dan mudah.

Kasus perdata.
1. Penggunaan instrumen perdata dalam perkara korupsi, menimbulkan kasus perdata yang sepenuhnya tunduk kepada ketentuan hukum perdata yang berlaku, baik materiil maupun formil.
2. UU korupsi lama yaitu UU no.3 tahun 1971, tidak menyatakan digunakannya instrumen perdata untuk mengembalikan kerugian keuangan negara. Tetapi dalam praktek instrumen perdata ini digunakan oleh Jaksa, berkaitan dengan adanya hukuman tambahan yaitu pembayaran uang pengganti terhadap terpidana vide pasal 34 (C) UU tersebut. Dalam hal ini Jaksa Pengacara Negara (selanjutnya disingkat JPN) melakukan gugatan perdata terhadap terpidana, agar membayar uang pengganti sebagaimana ditetapkan oleh Hakim pidana yang memutus perkara korupsi yang bersangkutan.
3. UU Korupsi yang berlaku saat ini, yaitu UU no.31 tahun 1999 jo UU no.20 tahun 2001 dengan tegas menyatakan penggunaan instrumen perdata, sebagaimana pada pasal 32, 33, 34, UU no.31 tahun 1999 dan pasal 38 C UU no.20 tahun 2001.
4. Kasus perdata yang timbul berhubungan dengan penggunaan instrumen perdata tersebut adalah sebagai berikut:
a. Bila penyidik menangani kasus yang secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, tetapi tidak terdapat cukup bukti untuk membuktikan unsur-unsur pidana korupsi, maka penyidik menghentikan penyidikan yang dilakukan.
Dalam hal ini penyidik menyerahkan berkas perkara hasil penyidikannya kepada JPN atau kepada instansi yang dirugikan, untuk dilakukan gugatan perdata terhadap bekas tersangka yang telah merugikan keuangan negara tersebut (pasal 32 ayat (1) UU no.31 tahun 1999)
b. Hakim dapat menjatuhkan putusan bebas dalam perkara korupsi, meskipun secara nyata telah ada kerugian negara, karena unsur-unsur pidana korupsi tidak terpenuhi. Dalam hal ini penuntut umum (PU) menyerahkan putusan Hakim kepada JPN atau kepada instansi yang dirugikan, untuk dilakukan gugatan perdata terhadap bekas terdakwa yang telah merugikan keuangan negara (pasal 32 ayat (2) UU no.31 tahun 1999)
c. Dalam penyidikan perkara korupsi ada kemungkinan tersangka meninggal dunia, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara. Penyidikan terpaksa dihentikan dan penyidik menyerahkan berkas hasil penyidikannya kepada JPN atau kepada instansi yang dirugikan, untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli waris tersangka (pasal 33 UU no.31 tahun 1999)
d. Bila terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada keuangan negara, maka penuntut umum menyerahkan salinan berkas berita acara sidang kepada JPN atau kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli waris terdakwa (pasal 34 UU no.31 tahun 1999)
e. Ada kemungkinan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana korupsi yang belum dikenakan perampasan, (sedangkan di sidang pengadilan terdakwa tidak dapat membuktikan harta benda tersebut diperoleh bukan karena korupsi), maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya (pasal 38 C UU no.20 tahun 2001). Dalam kasus ini instansi yang dirugikan dapat memberi kuasa kepada JPN atau kuasa hukumnya untuk mewakilinya.

Proses perdata.
1. Sebagaimana disinggung di atas, bahwa upaya pengembalian kerugian keuangan negara menggunakan instrument perdata, sepenuhnya tunduk pada disiplin hukum perdata materiil maupun formil, meskipun berkaitan dengan tindak pidana korupsi.
2. Berbeda dengan proses pidana yang menggunakan sistem pembuktian materiil, maka proses perdata menganut sistem pembuktian formil yang dalam prakteknya bisa lebih sulit daripada pembuktikan materiil. Dalam tindak pidana korupsi khususnya, di samping penuntut umum, terdakwa juga mempunyai beban pembuktian, yaitu terdakwa wajib membuktikan bahwa harta benda miliknya diperoleh bukan karena korupsi. Beban pembuktian pada terdakwa ini disebut “pembuktian terbalik terbatas” (penjelasan pasal 37 UU no.31 tahun 1999)
3. Dalam proses perdata beban pembuktian merupakan kewajiban penggugat, demikian halnya untuk kasus-kasus tersebut angka 4a – e di atas, beban pembuktian ada pada JPN atau instansi yang dirugikan sebagai penggugat. Dalam hubungan ini penggugat berkewajiban membuktikan antara lain:
a. Bahwa secara nyata telah ada kerugian keuangan negara.
b. Kerugian keuangan negara sebagai akibat atau berkaitan dengan perbuatan tersangka terdakwa atau terpidana.
c. Adanya harta benda milik tersangka, terdakwa atau terpidana yang dapat digunakan untuk pengembalian kerugian keuangan negara.
4. Untuk melaksanakan gugatan perdata tersebut sungguh tidak gampang. Ichwal yang menghadang dalam praktek dapat dicontohkan seperti di bawah ini.
a. Dalam pasal 32, 33 dan 34 UU no.31 tahun 1999 terdapat rumusan “secara nyata telah ada kerugian negara”. Penjelasan pasal 32 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian negara adalah kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik”
Pengertian “nyata” di sini didasarkan pada adanya kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya oleh instansi yang berwenang atau akuntan publik. Jadi pengertian “nyata” disejajarkan atau diberi bobot hukum sama dengan pengertian hukum “terbukti”.
Dalam sistem hukum kita, hanya Hakim dalam suatu persidangan pengadilan mempunyai hak untuk menyatakan sesuatu terbukti atau tidak terbukti. Perhitungan instansi yang berwenang atau akuntan publik tersebut dalam sidang pengadilan tidak mengikat hakim. Hakim tidak akan serta merta menerima perhitungan tersebut sebagai perhitungan yang benar, sah dan karenanya mengikat.
Demikian halnya dengan tergugat (tersangka, terdakwa atau terpidana) juga dapat menolaknya sebagai perhitungan yang benar, sah dan dapat diterima. Siapa yang dimaksud dengan “instansi yang berwenang”, juga tidak jelas; mungkin yang dimaksud instansi seperti BPKP, atau BPK. Mengenai “akuntan publik”, juga tidak dijelaskan siapa yang menunjuk akuntan publik tersebut; penggugat atau tergugat atau pengadilan?
b. Penggugat (JPN atau instansi yang dirugikan) harus dapat membuktikan bahwa tergugat (tersangka, terdakwa, atau terpidana) telah merugikan keuangan negara dengan melakukan perbuatan tanpa hak (onrechmatige daad, factum illicitum). Beban ini sungguh tidak ringan, tetapi penggugat harus berhasil untuk bisa menuntut ganti rugi.
c. Kalau harta kekayaan tergugat (tersangka, terdakwa atau terpidana) pernah disita, hal ini akan memudahkan penggugat (JPN atau instansi yang dirugikan) untuk melacaknya kembali dan kemudian dapat dimohonkan oleh penggugat agar Hakim melakukan sita jaminan (conservatoir beslag). Tetapi bila harta kekayaaan tergugat belum (tidak pernah disita), maka akan sulit bagi penggugat untuk melacaknya; kemungkinan besar hasil korupsi telah diamankan dengan di atas namakan orang lain.
d. Pasal 38 C UU no.20 tahun 2001 menyatakan bahwa terhadap “harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara………………….. negara dapat melakukan gugatan perdata”.
Dengan bekal “dugaan atau patut diduga” saja penggugat (JPN atau instansi yang dirugikan) pasti akan gagal menggugat harta benda tergugat (terpidana). Penggugat harus bisa membuktikan secara hukum bahwa harta benda tergugat berasal dari tindak pidana korupsi; “dugaan atau patut diduga” sama sekali tidak mempunyai kekuatan hukum dalam proses perdata.
e. Proses perkara perdata dalam prakteknya berlangsung dengan memakan waktu panjang, bahkan bisa berlarut-larut. Tidak ada jaminan perkara perdata yang berkaitan dengan perkara korupsi akan memperoleh prioritas. Di samping itu, sebagaimana pengamatan umum bahwa putusan Hakim perdata sulit diduga (unpredictable)

Upaya konvensional
1. Kalau kita simak penjelasan umum UU no.31 tahun 1999 jo UU no.20 tahun 2001, maka pembuat UU berikrar akan memberantas korupsi dengan “cara luar biasa” dan dengan “cara yang khusus”, karena korupsi di Indonesia terjadi secara sistimatik dan meluas serta telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas.
“Cara luar biasa” dan “cara yang khusus” yang dimaksud adalah pembuktian terbalik yang dibebankan kepada terdakwa, alat bukti elektronik, tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai delik formil, korporasi sebagai subyek tindak pidana korupsi, ancaman pidana minimum, pidana penjara bagi terpidana yang tidak dapat membayar uang pengganti, perluasan pengertian pegawai negeri, gugatan perdata untuk mengembalikan kerugian keuangan negara dan sebagainya.
2. Kalau kita perhatikan uraian mengenai hambatan-hambatan yang diperkirakan dapat timbul dalam penggunaan instrumen perdata untuk mengembalikan kerugian keuangan negara, maka gugatan perdata terhadap tersangka, terdakwa atau terpidana yang dimaksud oleh UU no.31 tahun 1999 jo UU no.20 tahun 2001 merupakan upaya standard bahkan konvensional dan sama sekali bukan “cara luar biasa” atau “cara yang khusus”.
3. Mengingat proses perdata yang tidak mudah, maka dapat diperkirakan bahwa upaya pengembalian kerugian keuangan negara sulit memperoleh keberhasilan. Kalau ketidakber-hasilan ini sering terjadi, maka akan menimbulkan penilaian yang keliru, khususnya terhadap JPN karena dianggap gagal melaksanakan perintah UU.

Kesimpulan.
1. Dengan instrumen hukum perdata yang standard atau konvensional sebagaimana yang disediakan oleh UU no.31 tahun 1999 jo UU no.20 tahun 2001, upaya mengembalikan kerugian keuangan negara tidak akan efektif, karena banyak hambatan yang menghadang.
2. Untuk extra ordinary crime seperti korupsi, perlu instrumen yang juga extra ordinary, agar pemulihan kerugian keuangan negara bisa efektif, yaitu antara lain dengan memberlakukan konsep pembuktian terbalik secara penuh dalam proses perdata, khususnya dalam kaitannya dengan harta benda tergugat (tersangka, terdakwa atau terpidana). Artinya tergugat diberi beban untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya tidak berasal dari korupsi. Di samping itu perlu penyederhanaan proses, misalnya proses sita jaminan (conservatoir beslag).
3. Pembuat UU no. 31 tahun 1999 jo UU no.20 tahun 2001 rupanya tidak memahami asas-asas dan praktek litigasi perkara perdata, sehingga berasumsi bahwa pengembalian kerugian keuangan negara dengan menggunakan instrumen perdata bisa efektif.

oleh: Suhadibroto



Read More......

Kebebasan Pers dalam Perspektif Pidana Ditinjau dari RUU KUHP

Transformasi Indonesia ke dalam suatu sistem bernegara yang lebih demokratis telah banyak membuahkan perubahan-perubahan yang cukup signifikan dalam kehidupan rakyat Indonesia. Adapun, perubahan-perubahan tersebut bukan berarti tanpa ada pergesekan antara nilai-nilai lama dan nilai-nilai baru, yang kadang kala tereskalasi menjadi suatu masalah sosial dan hukum. Namun bagaimanapun juga halangan dan masalah yang terjadi dalam

proses perubahan biarlah tetap menjadi suatu bagian dari proses alamiah perjalanan suatu sistem bernegara menuju ke arah yang lebih baik.
Berbicara mengenai perubahan dalam dunia pers menjadi suatu hal yang pada saat ini berada dalam suatu persimpangan dan dikotomi, apakah akan dianut kebebasan pers secara murni sebagaimana di negara-negara industri atau barat, ataukah pers yang akan tetap berada dalam batasan hukum, yang dalam hal ini adalah batasan hukum pidana. Belum lama ini, kasus Tempo vs Tommy Winata telah mengguncang dunia pers Indonesia, dimana wartawan telah diputus bersalah oleh Pengadilan karena pemberitaan yang dianggap mencemarkan nama baik seseorang. Fakta tersebut kemudian berujung pada pertanyaan, apakah pers dalam hal ini wartawan dapat dipidana ketika ia menjalankan profesinya? Ataukah seharusnya pers diberikan jaminan akan kebebasan secara utuh bebas dari hukum pidana ketika ia menjalankan profesinya? Hal tersebut menjadi suatu kajian yang menarik untuk ditelaah karena hal tersebut merupakan bagian dari “masalah” transformasi Indonesia menuju negara yang lebih demokratis dan menjunjung tinggi hukum.


Kebebasan pers tidak terelakkan lagi merupakan suatu unsur penting dalam pembentukan suatu sistem bernegara yang demokratis, terbuka dan transparan. Pers sebagai media informasi merupakan pilar keempat demokrasi yang berjalan seiring dengan penegakan hukum untuk terciptanya keseimbangan dalam suatu negara. Oleh karena itu sudah seharusnya jika pers sebagai media informasi dan juga sering menjadi media koreksi dijamin kebebasannya dalam menjalankan profesi kewartawananya. Hal ini penting untuk menjaga obyektifitas dan transparansi dalam dunia pers, sehingga pemberitaan dapat dituangkan secara sebenar-benarnya tanpa ada rasa takut atau dibawah ancaman, sebagaimana pada masa Orde Baru berkuasa dengan istilah self-censorship.


Mengenai nilai-nilai kebebasan pers sendiri, hal tersebut telah diakomodir di dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, yaitu diatur dalam Pasal 28, Pasal 28 E Ayat (2) dan (3) serta Pasal 28 F. Oleh karena itu jelas negara telah mengakui bahwa kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan berpikir adalah merupakan bagian dari perwujudan negara yang demokratis dan berdasarkan atas hukum.
Namun demikian, perlu disadari bahwa insan pers tetaplah warga negara biasa yang tunduk terhadap hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini, bagaimanapun juga asas persamaan dihadapan hukum atau equality before the law tetap berlaku terhadap semua warga negara Indonesia termasuk para wartawan, yang notabene adalah insan pers. Asas persamaan di hadapan hukum tersebut juga diatur secara tegas dalam UUD 1945 yang telah diamandemen yaitu di dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28 D Ayat (1). Dengan demikian para insan pers di Indonesia tidak dapat dikecualikan atau memiliki kekebalan (immune) sebagai subyek dari hukum pidana dan harus tetap tunduk terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berlaku di Indonesia.


Akan tetapi, hal tersebut bukan berarti kebebasan pers telah dikekang oleh undang-undang. Justru, konsep berpikir yang harus dikembangkan adalah perangkat perundang-undangan tersebut dibuat dan diberlakukan dengan tujuan untuk membentuk pers yang seimbang, transparan dan profesional.
Bagaimanapun juga harus diakui bahwa pers di Indonesia belum seluruhnya telah menerapkan suatu kualitas pers yang profesional dan bertanggung jawab dalam membuat pemberitaan. Hal ini patut diwaspadai mengingat belum seluruhnya rakyat Indonesia memiliki pendidikan dan tingkat intelegensia yang memadai. Jika, pers dibiarkan berjalan tanpa kontrol dan tanggung jawab maka hal tersebut dapat berpotensi menjadi media agitasi yang dapat mempengaruhi psikologis masyarakat yang belum terdidik, yang notabene lebih besar jumlahnya dibanding masyarakat yang telah terdidik. Oleh karena itu kebebasan pers perlu diberikan pembatasan-pembatasan paling tidak melalui rambu hukum, sehingga pemberitaan yang dilakukan oleh pers, dapat menjadi pemberitaan pers yang bertanggung jawab.


Yang menjadi masalah dalam pemberitaan pers adalah jika pemberitaan pers digunakan sebagai alat untuk memfitnah atau menghina seseorang atau institusi dan tidak mempunyai nilai berita (news), dan di dalam pemberitaan tersebut terdapat unsur kesengajaan (opzet) dan unsur kesalahan (schuld) yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Jadi yang perlu ditekankan disini adalah, pidana tetap harus diberlakukan terhadap pelaku yang dengan sengaja melakukan penghinaan atau fitnah dengan menggunakan pemberitaan pers sebagai media. Sementara kebebasan pers untuk melakukan pemberitaan jika memang dilakukan secara bertanggung jawab dan profesional, meskipun ada kesalahan dalam fakta pemberitaan tetap tidak boleh dipidana.


Contohnya adalah, berita Newsweek tentang pelecehan Qur’an di Guantanamo yang ternyata merupakan kesalahan nara sumber dan Newsweek meminta maaf atas kesalahan tersebut dan berjanji akan lebih berhati-hati dalam pemberitaan. UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers (“UU Pers”) sendiri belum mengakomodir mengenai permasalahan tersebut. Di dalam UU Pers sendiri hanya diatur mengenai sanksi pidana berupa denda jika perusahaan pers melanggar norma susila dan asas praduga tidak bersalah serta masalah pengiklanan yang dilarang oleh undang-undang (Pasal 18 Ayat 2 UU Pers). Sementara itu, selebihnya UU Pers hanya mengatur mengenai hak jawab dan hak koreksi untuk pemberitaan yang dianggap bermasalah. Hal inilah yang sebenarnya yang untuk sementara pihak dianggap tidak mengandung ketidakseimbangan dalam pers, namun dalam hal ini pers tidak dapat dipersalahkan, karena yang salah adalah UU Pers yang tidak mengatur mengenai potensi-potensi masalah hukum yang rumit dan berat yang dapat timbul dalam pemberitaan pers.


UU Pers sendiri tidak mengatur secara tegas siapa yang harus menjadi penanggung jawab dalam perusahaan pers terhadap berita-berita yang dikeluarkan. Apakah itu pemimpin redaksi atau wartawan? UU pers tidak mengatur secara jelas. Pasal 12 UU Pers hanya mengatur bahwa perusahaan pers wajib mengumumkan nama dan alamat penanggung jawab dalam perusahaan pers. Sehingga dapat terjadi bias dalam masalah pertanggung jawaban mengenai penerbitan berita dalam perusahaan pers.


Berdasarkan uraian diatas, jelas bahwa konsep kebebasan pers dalam mengeluarkan pendapat dan pikiran merupakan hal yang mutlak bagi proses demokratisasi suatu negara. Hanya saja, kebebasan tersebut bukanlah kebabasan yang mutlak dan tanpa batas. Untuk mencegah disalahgunakannya pers sebagai media penghinaan, fitnah, dan penghasutan diperlukan perangkat hukum lain, yang sebenarnya bertujuan bukan untuk mengekang kebebasan pers namun membuat pers Indonesia menjadi lebih profesional dan bertanggung jawab serta menghormati hukum dan hak asasi manusia seusai dengan perananan pers nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU Pers, yaitu:
1. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
2. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinnekaan;
3. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;
4. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;
5. memperjuangkan keadilan dan kebenaran.


Jika melihat dari sudut pandang rancangan undang-undang KUHP (“RUU KUHP”) yang baru saat ini, maka Pasal 511 sampai dengan Pasal 515 RUU KUHP telah mengakomodasi permasalahan penghinaan maupun fitnah yang dapat terjadi dalam pemberitaan Pers.
Untuk masalah penghinaan Pasal 511 Ayat (1) RUU KUHP telah mengatur secara jelas mengenai kriteria tindak pidana penghinaan, yaitu terlihat dari unsur-unsurnya sebagai berikut:
1. setiap orang;
2. dengan lisan;
3. menghina menyerang;
4. kehormatan atau nama baik orang lain;
5. menuduhkan suatu hal;
6. dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum.


Untuk Pasal 511 Ayat (1) RUU KUHP tersebut ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Kategori III (Rp. 30.000.000,-). Sedangkan untuk tindak pidana yang dilakukan secara tertulis diatur dalam Pasal 511 Ayat (2) RUU KUHP, sebagai pemberat tindak pidana terhadap Pasal 511 Ayat (1) RUU KUHP. Pemberatan tersebut akan dikenakan apabila penghinaan tersebut memenuhi unsur-unsur: dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan di tempat umum. Dengan demikian jika tindak pidana penghinaan dilakukan melalui pemberitaan pers telah memenuhi unsur-unsur yang diatur dalam Pasal 511 Ayat (2) RUU KUHP. Akan tetapi dalam Pasal 511 Ayat (3) RUU KUHP diatur pula mengenai dasar pembenar untuk melakukan hal-hal yang diatur dalam Pasal 511 Ayat (1) dan (2) RUU KUHP, yaitu jika perbuatan tersebut dilakukan untuk kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri. Untuk Pasal 511 Ayat (2) RUU kUHP ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Kategori III (Rp. 30.000.000,-).
Untuk tindak pidana fitnah, hal tersebut diatur dalam Pasal 512 RUU KUHP. Tindak pidana fitnah itu sendiri merupakan pengembangan dari tindak pidana penghinaan baik yang diatur dalam Pasal 511 Ayat (1) maupun Ayat (2) RUU KUHP. Tindak pidana fitnah merupakan tindak pidana penghinaan yang ditambahkan unsur kesempatan bagi pelaku penghinaan untuk membuktikan kebenaran apa yang dituduhkannya, dan jika apa yang dituduhkan oleh si pelaku tersebut tidak terbukti, maka ia telah melakukan tindak pidana fitnah. Apabila tindak pidana fitnah itu dilakukan melalui media pemberitaan pers maka tindak pidana fitnah tersebut akan memenuhi unsur Pasal 511 Ayat (2) RUU KUHP.


Untuk tindak pidana fitnah (Pasal 512 RUU KUHP) ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling sedikit 5 (lima) tahun atau denda paling sedikit Kategori III (Rp. 30.000.000,-) dan paling banyak Kategori IV (Rp.75.000.000,-). Dengan demikian RUU KUHP sendiri di lain sisi juga cukup memberikan perlindungan bagi kebebasan pers, yaitu kesempatan bagi terdakwa pelaku penghinaan atau fitnah untuk membuktikan kebenaran mengenai apa yang dituduhkannya, atau dalam hal penghinaan atau fitnah tersebut dilakukan melalui pemberitaan pers maka wartawan yang melakukan pemberitaan tersebut dapat diberi kesempatan oleh hakim untuk membuktikan kebenaran mengenai pemberitaannya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 512 Ayat (2) RUU KUHP, dimana diatur bahwa pembuktian kebenaran akan tuduhan yang dilakukan tersebut, hanya dapat dilakukan dalam hal:
1. hakim memandang perlu untuk memeriksa kebenaran tuduhan tersebut guna mempertimbangkan keterangan terdakwa bahwa terdakwa melakukan perbuatan tersebut untuk kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri;
2. pegawai negeri dituduh melakukan suatu hal dalam melakukan tugas jabatannya.


Selanjutnya Pasal 513 Ayat (1) RUU KUHP memberikan dasar pemaaf bagi pelaku penghinaan dan fitnah yaitu apabila tuduhan yang dibuat oleh si pelaku tersebut terbukti kebenarannya berdasarkan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) maka, si pelaku tidak dapat dipidana atas fitnah. Hal ini tentu saja berlaku juga terhadap tindak pidana fitnah yang dilakukan melalui pemberitaan pers. Jika pemberitaan pers yang dianggap menghina atau menfitnah itu dapat dibuktikan kebenarannya maka, wartawan yang menjadi terdakwa tidak dapat dipidana atas tuduhan penghinaan atau fitnah. Sebaliknya, jika berdasarkan putusan hakim yang telah berkekekuatan hukum tetap perbuatan yang dituduhkan tersebut tidak terbukti, maka si terhina atau si terfitnah tersebut dibebaskan dari apa yang dituduhkan, dan putusan tersebut menjadi bukti sempurna bahwa apa yang dituduhkan tersebut tidak benar. Dalam hal ini benar-benar diperlukan hakim atau pengadilan yang betul-betul menghayati dan memahami seluk-beluk penerapan hukum pidana khususnya tentang penghinaan dan fitnah.


Dalam hal terjadi kasus penghinaan atau fitnah, maka proses persidangan terdakwa penghinaan atau fitnah akan ditunda terlebih dahulu jika hakim memutuskan untuk membuktikan kebenaran akan apa yang dituduhkan dalam penghinaan atau fitnah tersebut (Pasal 513 Ayat 3 RUU KUHP) yang dilakukan baik secara lisan maupun secara tertulis (termasuk media pemberitaan pers). Setelah persidangan masalah pembuktian kebenaran tuduhan tersebut mempunyai putusan yang telah berkekuatan hukum tetap maka barulah proses persidangan perkara penghinaan atau fitnah dilanjutkan. Hal tersebut dilakukan karena pembuktian akan kebenaran tentang hal yang dituduhkan dalam penghinaan atau fitnah tersebut akan menjadi alat bukti yang sangat menentukan dalam persidangan perkara penghinaan atau fitnah.


Perlu ditekankan juga bahwa tindak pidana penghinaan dan fitnah adalah merupakan delik aduan (Pasal 518 RUU KUHP) karena pelaku tindak pidana penghinaan dan fitnah tidak akan dituntut, jika tidak ada pengaduan dari orang yang berhak mengadu, kecuali jika yang dihina atau difitnah adalah seorang pegawai negeri yang sedang menjalankan tugasnya yang sah (Pasal 515 RUU KUHP).


Berdasarkan pemaparan diatas dapat dimengerti bahwa kebebasan pers dalam mengemukakan berita tetap dijaga, akan tetapi bukan berarti kriminalisasi dalam pers tidak dimungkinkan. Dalam hal media pers telah menjadi alat untuk melakukan penghinaan dan fitnah tentu saja oknum tersebut harus dapat dipidana. Jadi bukan pers sebagai media pemberitaan yang dikriminalisasi tetapi pelaku, oknum yang mungkin saja menunggangi pers atau memanfaatkan pers untuk kepentingan yang melanggar hukum, itulah yang akan dikriminalisasi. Jadi yang diadili adalah si pelaku dan bukan pers.


Dalam pembuktian pidana penghinaan dan fitnah yang dilakukan melalui media pemberitaan pers, tentu saja harus terdapat opzet atau kesengajaan pelaku untuk melakukan tindak pidana, dan juga adanya schuld atau kesalahan dalam perbuatan tersebut. Jadi sesungguhnya bukan pemberitaan pers yang dipidanakan tetapi perbuatan menghina atau memfitnah tersebut yang dipidana.


Harus diakui bahwa belum semua pers Indonesia dikelola secara profesional dan mampu melakukan pemberitaan yang bertanggung jawab, banyak perusahaan pers yang mengeluarkan berita-berita gosip dan pernyataan-pernyataan yang tidak benar atau bias. Di lihat dari sisi lain kepentingan masyarakat, tentu saja pers yang tidak berkualitas akan sangat merugikan karena tidak mendidik masyarakat dan sebagai pembentuk opini publik, pers akan sangat berbahaya jika dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu yang memiliki tujuan-tujuan yang melanggar hukum.


Oleh karena itu jika dipandang dari sudut pandang hukum pidana khususnya dalam RUU KUHP, hukum secara seimbang telah mengatur antara kebebasan pers dan pertanggung jawaban isi dari beritanya, dan perlu diingat bahwa pasal-pasal penghinaan dan fitnah dalam RUU KUHP adalah pasal-pasal yang mengatur mengenai tindak pidana penghinaan dan fitnah secara umum (general) jadi tidak hanya mengacu pada pemberitaan pers saja. Justru dengan adanya pasal-pasal mengenai penghinaan dan fitnah dalam RUU KUHP maka pers Indonesia didorong untuk menjadi lebih profesional dan lebih bertanggung jawab dalam menerbitkan pemberitaan. Hal tersebut karena pers selain mempunyai tugas untuk memberikan informasi secara terbuka dan transparan terhadap masyarakat, pers juga memiliki tanggung jawab untuk mendidik masyarakat dan untuk menjaga opini publik, yang rentan terhadap situasi sosial politik di negara seperti Indonesia.


Akan tetapi ada yang perlu dikritisi dalam pasal-pasal mengenai penghinaan dan fitnah RUU KUHP yaitu mengenai pembuktian akan kebenaran tuduhan yang dibuat oleh terdakwa penghinaan atau fitnah yang didasarkan atas kepentingan umum atau pembelaan diri. Berdasarkan Pasal 512 Ayat (2) RUU KUHP pembuktian kebenaran tuduhan yang dibuat oleh terdakwa penghinaan atau fitnah sepenuhnya tergantung pada keputusan hakim, sedangkan seharusnya pembuktian mengenai apa yang dituduhkan sebagai penghinaan atau fitnah harus dilakukan tanpa kecuali karena hal tersebut merupakan bukti apakah si terdakwa benar melakukan tindak pidana atau tidak.


Hal lain yang perlu dikritisi adalah tidak efisiennya persidangan, karena sidang pembuktian akan kebenaran tuduhan fitnah atau penghinaan pasti akan memakan waktu yang lama sehingga asas peradilan yang cepat, dan biaya murah sulit untuk diterapkan dalam kasus penghinaan dan fitnah.
Sebagai penutup, kebebasan pers merupakan hal yang mutlak untuk dijaga dan dijamin secara hukum. Namun demikian pers sebagai bagian dari demokrasi harus memiliki profesionalisme dan tanggung jawab dalam melakukan tugasnya. Oleh karena itu hukum berada ditengah masyarakat guna untuk menciptakan keseimbangan antara demokrasi, kebebasan, dan tanggung jawab. Pers tidak kebal hukum tetapi kebebasan pers tidak pernah terancam karena kebebasan pers bukan merupakan kejahatan.


Oleh: Frans Hendra Winarta



Read More......

Reformasi Pendidikan Tinggi Hukum untuk Memungkinkan Pendidikan Khusus bagi Advokat

1. Kurikulum Nasional (Khusus) 1993 (Kep. Mendikbud 17/1993) mensyarakatkan adanya matakuliah “kemahiran hukum” (legal skills) dalam kurikulum semua fakultas hukum. Tujuannya adalah agar lulusan dibekali dengan “kesiapan kerja” yang lebih baik. (Bandingkan pula dengan

CLE-Pendidikan Hukum Klinik yang di UNPAD dijadikan proyek percontohan dengan Kep. Dikti No. 30/1983).

2. Seorang sarjana hukum yang akan mempergunakan pengetahuannya dalam masyarakat harus mempunyai “kemahiran analisa” (analytical skills). Ketidakmampuan secara cermat menganalisa suatu kasus hukum, adalah keluhan umum yang diajukan terhadap lulusan (baru) fakultas hukum. Kritik masyarat tentang “tidak siap-kerja” para lulusan fakultas hukum, berintikan keinginan kantor-kantor hukum untuk menerima bekerja lulusan yang mampu mempergunakan “wawasan ilmu pengetahuan hukum” secara profesional analitis dalam kasus (-kasus) yang dihadapinya.

3. Dalam organisasi fakultas hukum telah disarankan adanya “laboratorium hukum” (Lab-Hukum). Tugas Lab-Hukum adalah: (a) menyelenggarakan pendidikan kemahiran (secara khusus dan tersendiri), dan (b) membina (para dosen) menggunakan pendekatan-terapan (applied approach) melalui penyediaan bahan untuk dosen, maupun meningkatkan dosen menggunakan bahan (kasus, peraturan; kontrak) tersebut. Memasukan Lab-Hukum dalam “struktur organisasi” fakultas hukum adalah dengan tujuan memudahkan perolehan dana dan pertanggungjawabannya (terutama untuk PTN).

4. Lab-Hukum yang disarankan adalah:
4.1. Unit latihan berlitigasi (sebagai hakim, jaksa, dan advokat)
4.2. Unit latihan non-litigasi (kemahiran bernegosiasi, menyusun kontrak, dan menyusun peraturan perundang-undangan);
4.3. Unit bantuan hukum untuk orang miskin (legal aid; melatih “social responsibility”).
Dalam perjalanan diskusi, maka ketiga unit ini ditambah dengan:
4.4 Unit latihan penulisan hukum (persiapan “legal memorandum” dan skripsi);
4.5 Unit pengajaran bahasa (Indonesia dan Inggris serta bahasa asing lainya).

5. Dalam makalah saya sepuluh tahun yang lalu, yaitu tahun 1994 (penataran untuk dosen di Fakultas Hukum Universitas Lampung), telah disarankan sejumlah aktivitas Lab-Hukum sebagai berikut:
5.1. Unit Litigasi (UL) dengan aktivitas a.l.:
(a) Membuat dokumen-dokumen hukum pengadilan, misalnya: surat gugatan dan jawaban (hukum perdata); surat dakwaan dan pembelaan (hukum pidana); berita acara sidang (panitera); keputusan perkara (hakim; hukum perdata; hukum pidana); memori banding; memori kasasi; dan lain-lain.
(b) Praktik beracara di pengadilan: tata tertib; sopan santun; etika beracara (untuk hakim, jaksa, dan penasehat hukum); dapat disimulasikan melalui “peradilan semu” yang pada dasarnya akan mengajarkan a.l. teknik, keterampilan, dan etika dasar dalam beracara di pengadilan dan lain-lain.
(c) Manajemen dalam menangani kasus litigasi: persiapan-persiapan untuk maju di muka pengadilan; menangani kasus yang mendapat “sorotan publik/pers” atau kasus yang telah menimbulkan “emosi publik” atau kasus yang menyangkut klien yang “banyak” (10,50,100) orang; dan lain-lain.

5.2. Unit Non-Litigasi (UNL) dengan aktivitas a.l.:
(a) Mewakili klien dalam bernegosiasi untuk transaksi bisnis yang besar (dengan pihak pemerintah; pihak “mitra” ataupun “lawan” dalam bisnis): teknik-teknik mempersiapkan diri, pendekatan “take and give”, penyusunan laporan untuk klien; dan lain-lain;
(b) Menyusun kontrak dagang atau bisnis berdasarkan fakta dan instruksi klien;
(c) Menyusun peraturan perundang-undangan: tingkat daerah dan tingkat pusat; menelusuri peraturan yang akan menjadi dasar, yang perlu diubah atau dicabut; dan lain-lain;
(d) Penyusunan dokumen hukum “resmi” seperti: pendirian perusahaan (a.l. anggaran dasar p.t.); jual beli tanah; jual beli rumah susun atau kondominium; dan lain-lain.

5.3. Unit Bantuan Hukum (UBH):
Kegiatan dalam unit ini mencerminkan keprihatinan dan kepedulian fakultas hukum terhadap warga masyarakat yang tidak mampu (miskin). Partisipasi para mahasiswa dalam UBH sebaiknya lebih bersifat “sukarela” dan berdasarkan “seleksi”, karena tujuan pendidikannya adalah menanamkan konsep “pelayanan social” (public service) dan bahwa perlu ada “ketertiban sosial” dari profesi hukum. Yang perlu dicegah adalah bahwa UBH menjadi “kantor penasihat hukum (advokat; konsultan hukum) terselubung” dari dosen (dan mahasiswa) fakultas hukum bersangkutan. Pendekatan “komersial” atau “bisnis” dari UBH harus dicegah pula, namun tentu diharapkan dapat “berdikari” dalam bidang keuangan.

Melalui Lab-Hukum ini fakultas dapat pula melaksanakan kegiatan-kegiatan lain misalnya yang pernah disarankan:

5.4. Yang bersifat “latihan kemahiran”:
(a) Penelusuran efektif peraturan dan yurisprudensi;
(b) Menulis “nasihat” hukum singkat dan sederhana;
(c) Memimpin rapat (misalnya rapat umum tahunan suatu organisasi atau perusahaan);
(d) Pemahaman tentang keberadaan (dan sejarah terbentuknya) berbagai organisasi profesi hukum serta etika profesi hukum;
(e) Tata cara melangsungkan “perdamaian” antara klien dan “lawan”, atau antara dua (atau lebih) “klien” (pihak-pihak yang meminta bantuan “mediation”, “conciliation” ataupun arbitration”) [dapat merupakan prasyarat untuk matakuliah (bila ada) “Alternative Dispute Resolution”];
(f) Manajemen kantor penasihat hukum (arsip klien; titipan dokumen hukum asli; penagihan pembayaran; pembukuan sederhana; peraturan jadwal sidang dan pertemuan dengan klien; dan lain-lain);
(g) Pemanfaatan program-program komputer untuk meningkatkan manajemen (termasuk penyusunan rancangan perjanjian) kantor penasehat hukum (atau mutatis mutandis kantor jaksa, kantor panitera, kantor hakim).

5.5. Yang bersifat “pengabdian kepada masyarakat”:
(a) Penyuluhan hukum untuk memberikan pengetahuan hukum yang dasar kepada masyarakat, tidak saja kewajibanya tetapi juga hak-haknya;
(b) Membantu membekali mahasiswa fakultas hukum yang akan melaksanakan KKN (Kuliah Kerja Nyata).

6. Kalau saran sepuluh tahun yang lalu telah dijalankan, maka fakultas hukum tentu sudah mempunyai Lab-Hukum yang cukup siap dan berpengalaman untuk dikembangkan menjadi suatu penjurusan atau pengkhususan kependidikan profesi hukum (Professional school) yang dapat disesuaikan dengan tantangan masa kini. Pada waktu ini (tahun 2004), peta pendidikan untuk profesi hukum sudah mulai berubah. Perkembangan ekonomi dunia telah memberikan dampaknya pula pada pendidikan tinggi hukum. Globalisasi pasar ekonomi telah berpengaruh timbal balik pada perkembangan teknologi informasi dan perubahan dalam masyarakat, termasuk di bidang hukum. Kampus hukum harus siap menghadapi persaingan dunia di berbagai aspek aktivitas ekonomi, termasuk perdagangan di bidang jasa. Pasar jasa dalam negeri pada awal abad ke-21 ini diprediksikan akan mulai menjadi pasar internasional. Dalam suasana seperti itu, para sarjana hukum Indonesia harus dapat bersaing dengan jasa hukum yang ditawarkan dari luar negeri ke Indonesia.

7. Untuk menghadapi tantangan di atas, kampus hukum Indonesia harus mempunyai strategi yang agresif untuk meningkatkan daya saing (competitiveness) para lulusannya berhadapan dengan sarjana hukum asing. Sebaiknya kampus dan profesi hukum tidak mengandalkan cara-cara tradisional yang bersifat defensive, dengan meminta proteksi melalui berbagai larangan dan pembatasan untuk praktisi hukum asing. Cara ini hanya akan membuat sarjana hukum Indonesia menjadi “jago kandang” (yang sering disamarkan dengan istilah “tuan di rumah sendiri”) dan tidak kompetitif di luar Indonesia. Jangan lupa bahwa pada akhir abad yang lalu, dunia profesi hukum telah mulai berubah dan pada penghujung abad ke 21 ini internasionalisasi dan globalisasi profesi hukum sudah berjalan, begitu pula untuk Indonesia.


8. Bagaimana sebaiknya kita bersikap? Tidak ada jawaban yang mudah, sederhana, dan berlaku umum. Pertama, kita harus mengakui kita telah tertinggal dibandingkan pendidikan profesi hukum di negara-negara tetangga kita (Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina). Kita mau menyadari hal itu dan kita harus ingin mengejar ketinggalan kita. Kedua, kata kunci adalah “kepedulian” dan “kerjasama”. Peduli terhadap sumber-sumber utama personalia di bidang hukum (hakim, jaksa, advokat) yang sedang menghadapi masalah. Karena itu perlu ada kerjasama antara organisasi profesi dengan fakultas hukum. Harus dibangun suatu “strategi bersama” dan suatu “cetak biru” untuk membuka jalan ke masa depan. Tanpa hal ini mustahil kita dapat mengejar ketinggalan kita!

Bahan Pustaka


Read More......